Jumat, 28 Oktober 2011

Selamat Jalan kiyai Sejuta Ummat (K.H Zainuddin Mz)

Umat Islam baru saja kehilangan pemimpinnya, KH Zainudin MZ. Media meliput kepergian ulama bergelar Kiai Sejuta Umat berulang kali. Liputan beragam mulai dari berjubelnya jamaah yang ikut menyalati jasad KH Zainuddin MZ, kenangan para sahabat, profil dan perjalanan hidup sampai pesan terakhirnya kepada sang pemimpin negeri ini dalam ceramahnya yang disiarkan oleh tvOne pada 3 Juli (2 hari sebelum kematiannya). KH Zainuddin MZ sangat dekat dengan umat. Pidatonya mudah dicerna, berisi tentang kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara yang disampaikan melalui ‘humor menggigit’.

Tulisan ini ingin merefleksi pengalaman penulis bergumul dengan almarhum, meski tidak secara langsung. Ketika itu tahun 1994, tak hanya kaset-kaset berisi siraman rohani KH Zainuddin MZ yang sampai ke desa-desa namun sebuah buku setebal kira-kira 350 halaman juga menyapa umat Islam. Buku berjudul ‘KH Zainuddin MZ: Dai Sejuta Umat’ (1994) ini mengupas tentang perjalanan hidup dan pemikiran dakwah.

Membaca kalimat per kalimat dalam buku ini akan membuat kita seperti berada dalam ‘rasa nyaman’ kedirian kita sebagai bangsa Indonesia. Nilai-nilai nasionalisme dengan beragam kekayaan pemikiran tokoh-tokoh bangsa ini telah mengilhami lahirnya sosok KH Zainuddin MZ yang kita kenal sebagai dai sejuta umat. Dalam buku ‘KH Zainuddin MZ: Dai Sejuta Umat’ tergambar dalam dirinya menyatu empat figur tokoh Indonesia yang fenomenal. Pertama, Soekarno. Sejak kecil KH Zainuddin MZ mengagumi gaya orator Bung Karno yang tampil berani, gagah dan dapat memikat perhatian berjuta-juta rakyat Indonesia. Buku-buku maupun majalah yang mengupas tentang pemikiran bung Karno tak pernah lepas dari kehidupan KH Zainuddin sejak usia sekolah.

Di kala usianya masih 5 tahun, KH Zainuddin MZ kecil memiliki hobi mengikuti Ibunya Zainabun ke pasar. Postur tubuhnya dengan kulit putih dan mata sipit membuat gemas para pedagang Cina di Pasar. Di tengah-tengah kegaduhan pasar itulah, KH Zainuddin MZ kecil kerap naik di atas meja milik pengusaha Cina. Dengan mimik muka serius, KH Zainuddin MZ kecil menirukan gaya pidato Bung Karno. Hobinya naik meja dan berpidato dengan suara lantang juga dilakukan di depan para tamu yang kerap bertandang ke rumah kakek-neneknya.

Kedua, KH Idham Khalid. KH Zainuddin MZ bersentuhan langsung dengan pemimpin NU (1952-1984) ini ketika menuntut ilmu di Madrasah Tsanawiyah hingga tamat Aliyah Perguruan Darul Ma’arif yang dipimpin langsung oleh KH Idham Khalid. Semua tindak-tanduk KH Idham Khalid menarik perhatian KH Zainudin MZ. Kala itu KH Idham Khalid dikenal sebagai singa podium meski bertubuh kecil.

Dalam buku ‘KH Zainudin MZ: Dai Sejuta Umat’ terbitan tahun 1994 ini, KH Zainudin MZ mengkisahkan ada seorang ulama yang dicintai umatnya. Ketika sang ulama tersebut dalam tausiyahnya (pidatonya) menceritakan kesedihan, hampir semua jamaah menangis. Dan jika sang ulama tersebut mengkisahkan kabar gembira, semua jamaah juga tampak wajah berseri. Ulama seperti ini menurut KH Zainuddin adalah ulama yang patut diteladani karena keikhlasannya, karena kedalaman ilmunya, karena kedekatannya pada Allah. Penulis baru memahami ulama yang dimaksud oleh KH Zainuddin MZ adalah
guru yang dihormatinya di Perguruan Darul Ma’arif tersebut.

Selain dikenal sebagai singa podium, KH Idham Khalid juga dikenal sebagai pelobi ulung. Bakat sebagai orator dan pelobi ulang KH Idham Khalid secara perlahan-lahan dipelajari oleh KH Zainuddin MZ kecil. Di banyak kesempatan saat-saat sekolah di Perguruan Darul Ma’arif, KH Zainuddin MZ kecil sering tampil di hadapan teman-temannya dengan beragam ‘guyonan’ khas Betawi. Dalam setiap kali tampil, KH Zainuddin MZ kecil dapat memukau perhatian teman-temannya.

Ketiga, Buya Hamka. Sejak muda, KH Zainuddin MZ sangat gandrung dengan karya-karya sastra Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Ketertarikan KH Zainuddin MZ pada sosok Hamka bukan semata karena sang tokoh adalah sastrawan. Selama hidupnya Hamka selain dikenal sebagai sastrawan Indonesia, juga sekaligus ulama, dan aktivis politik. Dari karya-karya Hamka yang memuat tentang sastra Indonesia inilah, sosok KH Zainuddin MZ belajar bagaimana memilih dan memilah bahasa yang sesuai dengan ‘diksi’, bahasa yang kelak digunakannya untuk ‘mencubit’ namun tidak merasakan sakit.

Hamka yang dalam hidupnya otodidak dalam ilmu pengetahuan mengilhami KH Zainuddin MZ juga melakukan hal yang sama. Apa yang dipelajari Hamka mulai dari filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat juga dipelajari oleh KH Zainuddin MZ. Termasuk kemahiran Hamka dalam bahasa Arab juga menginspirasi KH Zainuddin remaja. Karya-karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah yang tuntas dipelajari Hamka, juga dilanjutkan oleh KH Zainuddin MZ di usia muda seperti karya-karya Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal.

Keempat, KH Syukron Makmun. Pimpinan Pondok Pesantren Darul Rahman Jakarta Selatan ini juga idola KH Zainuddin MZ. Keberanian KH Syokron Makmun mengilhami proses pembelajaran KH Zainuddin MZ membentuk karirnya di atas podium. KH Syukron Makmun dikenal sebagai ulama yang berani mengkritik pemerintah Orde Baru. Dalam sebuah cerita dari para santri-santrinya, KH Syukron Makmun kerap menjadi sasaran tembakan misterius namun berkat kedekatannya sang Kiai kepada Allah tembakan
tersebut tidak pernah kena sasaran. Selain berani, KH Syukron Makmun juga dikenal sebagai ulama yang disiplin dalam mendidik para santrinya.

KH Zainudin MZ sejak mudanya berkomitmen mengintegrasikan nilai-nilai, bakat dan kelebihan dari masing-masing empat figur tersebut di atas dalam kepribadiannya dan akhirnya lahirnya figur Dai Sejuta Umat. Pesannya yang bisa ditangkap dari buku ‘KH Zainuddin MZ: Dai Sejuta Umat (1994)’, bagi generasi muda adalah dalam rangka berproses ‘menjadi’ kita bisa belajar dari kepribadian banyak tokoh yang punya pengalaman dan makan garam kehidupan, namun dalam ‘endingnya’ kita harus tampil dengan kepribadian yang khas bukan jiplakan dari tokoh-tokoh tersebut. Hal tersebut ada dalam kepribadian KH Zainuddin MZ.

Dalam seni orator, mungkin ia belajar dari Bung Karno. Soal nilai Islam dalam dakwah, KH Zainuddin MZ belajar dari KH Idham Khalid. Dalam hal seni berbahasa, KH Zainudin MZ berguru otodidak dari pemikiran Hamka. Dan keberaniannya mengkritik apa pun, KH Zainuddin MZ belajar dari KH Syukron Makmun. Ada satu nilai yang sama dan menjadi prinsip dari keempat tokoh tersebut yang juga diterapkan oleh KH Zainuddin MZ dalam berdakwah yakni ‘agar apa yang kita sampaikan diterima di hati umat, maka sampaikanlah dengan hati’. Selamat jalan Dai Sejuta Umat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar